Penyelesaian konflik dan masalah sosial budaya di wilayah pesisir merupakan kebijakan multi dimensi dan terpadu serta perlu dirumuskan dalam suatu aturan kesepakatan.
Streeten dalam Syahrir (1986) mengatakan bahwa terjadinya perbedaan dalam menentukan kebutuhan dasar pada hakekatnya didasarkan pada pendekatan tiga tujuan pokok yaitu:
a. Terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi: pangan, sandang, papan dan sebagainya.
b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan publik (access to public services).
c. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam formasi dan implementasi program kebijakan yang menyangkut diri masyarakat.
Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan tersebut diperlukan aturan dan kebijakan yang menguntungkan multipihak.
Karakteristik pokok pendekatan penyelesaian masalah kemiskinan dan sosbud yang berpusat pada manusia dikemukakan Korten (dalam Moelyono, 1987) adalah:
a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pesisir dibuat di tingkat lokal, yang di dalamnya masyarakat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipasi yang dihargai.
b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah pesisir.
c. Perlunya proses ”social learning” yang di dalamnya terdapat interaksi kolaborasif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi kegiatan dengan mendasarkan diri pada saling belajar.
d. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi, yang menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang terintegrasi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang cepat dan kaya kepada semua tingkat yang membantu tindakan koreksi diri. Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan horizontal dapat terwujud.
e. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dan lembaga lokal (LSM), satuan organisasi lokal yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini untuk meningkatkan kemampuan mereka dan mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal.
Pada hakekatnya penyelesaian masalah kemiskinan dan sosbud adalah pendekatan manusiawi untuk menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut merupakan kristalisasi dan faktor-faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya. Latar belakang sosia-kultural masyarakat pesisir, status sosial dan tingkatan hidup menentukan kesempatan dan kemampuan untuk berproses dalam mengatasi masalah kemiskinan dan sosbud. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama sekali kelembagaan sosial untuk tumbuhnya self-sustaining capacity mempunyai derajat penting bekerjasama dengan kelembagaan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang berkelanjutan.Kapasitas dan kapabilitas dari sumberdaya manusia dalam proses pemecahan masalah kemiskinan dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan mempunyai implikasi tertentu (Bryant dan White, 1987) yaitu: pertama, pembangunan memberikan perhatian terhadap “kemampuan” atau capacity” terhadap apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dan tenaga guna membuat perubahan. Ini menunjukkan kapasitas terhadap harga diri, dalam memikirkan dan membentuk hari depan yang baik; kedua, pembangunan harus mencakup “keadilan”(equity) perhatian yang tidak berimbang terhadap kelompok tertentu akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat dan mengurangi konsistensinya; ketiga, pembangunan berusaha untuk menumbuhkan kekuasaan dan wewenang bertindak yang lebih besar kepada si miskin. Keempat, pembangunan harus memperhatikan masa depan melalui keberlanjutan pembangunan atau sustainability. Kelima, pembangunan memperhatikan keseimbangan antara titik berat manusia (masyarakat pesisir) dengan kelangsungan sumberdaya lingkungannya atau resources of environment lingkage.
Streeten dalam Syahrir (1986) mengatakan bahwa terjadinya perbedaan dalam menentukan kebutuhan dasar pada hakekatnya didasarkan pada pendekatan tiga tujuan pokok yaitu:
a. Terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi: pangan, sandang, papan dan sebagainya.
b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan publik (access to public services).
c. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam formasi dan implementasi program kebijakan yang menyangkut diri masyarakat.
Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan tersebut diperlukan aturan dan kebijakan yang menguntungkan multipihak.
Karakteristik pokok pendekatan penyelesaian masalah kemiskinan dan sosbud yang berpusat pada manusia dikemukakan Korten (dalam Moelyono, 1987) adalah:
a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pesisir dibuat di tingkat lokal, yang di dalamnya masyarakat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipasi yang dihargai.
b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah pesisir.
c. Perlunya proses ”social learning” yang di dalamnya terdapat interaksi kolaborasif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi kegiatan dengan mendasarkan diri pada saling belajar.
d. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi, yang menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang terintegrasi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang cepat dan kaya kepada semua tingkat yang membantu tindakan koreksi diri. Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan horizontal dapat terwujud.
e. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dan lembaga lokal (LSM), satuan organisasi lokal yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini untuk meningkatkan kemampuan mereka dan mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal.
Pada hakekatnya penyelesaian masalah kemiskinan dan sosbud adalah pendekatan manusiawi untuk menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut merupakan kristalisasi dan faktor-faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya. Latar belakang sosia-kultural masyarakat pesisir, status sosial dan tingkatan hidup menentukan kesempatan dan kemampuan untuk berproses dalam mengatasi masalah kemiskinan dan sosbud. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama sekali kelembagaan sosial untuk tumbuhnya self-sustaining capacity mempunyai derajat penting bekerjasama dengan kelembagaan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang berkelanjutan.Kapasitas dan kapabilitas dari sumberdaya manusia dalam proses pemecahan masalah kemiskinan dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan mempunyai implikasi tertentu (Bryant dan White, 1987) yaitu: pertama, pembangunan memberikan perhatian terhadap “kemampuan” atau capacity” terhadap apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dan tenaga guna membuat perubahan. Ini menunjukkan kapasitas terhadap harga diri, dalam memikirkan dan membentuk hari depan yang baik; kedua, pembangunan harus mencakup “keadilan”(equity) perhatian yang tidak berimbang terhadap kelompok tertentu akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat dan mengurangi konsistensinya; ketiga, pembangunan berusaha untuk menumbuhkan kekuasaan dan wewenang bertindak yang lebih besar kepada si miskin. Keempat, pembangunan harus memperhatikan masa depan melalui keberlanjutan pembangunan atau sustainability. Kelima, pembangunan memperhatikan keseimbangan antara titik berat manusia (masyarakat pesisir) dengan kelangsungan sumberdaya lingkungannya atau resources of environment lingkage.
Info Lanjut via Email . . .
2 komentar:
trimakasih atas materinya...sy sangat terbantu dengan materi ini,,,sukses untuk blognya
terimaakasih atas materinya,,,dan sukses untuk blognya
Posting Komentar