Integrated Coastal Zone Management (ICZM) atau yang biasa disebut dengan istilah “pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu” beberapa tahun belakangan ini semakin sering dan marak digulirkan dan digelarkan, baik dalam bentuk seminar, konperensi, pelatihan, pengadaan kursus, hingga sebagai sebuah program studi perguruan tinggi. Antusiasme ini bermunculan disebabkan terutama oleh arah kebijakan pemerintah saat ini yang lebih mengedepankan wilayah pesisir dan laut untuk dikembangkan.
Namun demikian, walau sudah banyak event yang dilakukan untuk menginisiasi, memobilisasi dan mengantisipasi segala aspek yang bermunculan dan berbenturan dalam mengelola wilayah pesisir dan laut ini, namun permasalahan yang ada cenderung belumlah terselesaikan. Semakin banyak keterlibatan berbagai pihak, sebagai konsekwensinya akan semakin banyak pula konflik kepentingan yang muncul. Sebagaimana takdir laut yang menjadi muara dari segala buangan di darat, maka wilayah pesisir dan laut ini secara simultan telah menjadi muara dari segala konflik manusia. Untuk itulah dibutuhkan variasi manajemen yang pada intinya adalah kordinasi dan integrasi atau keterpaduan konsep dan gerak yang sevisi dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Konflik multiguna yang terjadi di wilayah pesisir pada umumnya disebabkan oleh 3 (tiga) alasan ekonomis, yaitu : (1) Wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif di planet bumi, dimana berbagai ekosistem dengan produktifitas hayati tertinggi seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berda di wilayah pesisir; (2) Wilayah pesisir menyediakan berbagai aksesibilitas yang paling mudah dan relatif murah bagi kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan pembangunan lainnya dibandingkan dengan lahan atas (up-land area); dan (3) Wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama alam yang dapat dijadikan obyek rekreasi, pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir, terumbu karang, keindahan bawah laut, dan sebagainya.
Meskipun demikian, akibat berbagai kegiatan pembangunan yang kurang mengindahkan kelestarian fungi ekosistem, kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) sebagian ekosistem wilayah pesisir telah mengalami kerusakan dan terancam punah. Apabila kondisi semacam ini tidak segera dikelola secara arif dan efisien, maka pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan dikhawatirkan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Namun demikian, walau sudah banyak event yang dilakukan untuk menginisiasi, memobilisasi dan mengantisipasi segala aspek yang bermunculan dan berbenturan dalam mengelola wilayah pesisir dan laut ini, namun permasalahan yang ada cenderung belumlah terselesaikan. Semakin banyak keterlibatan berbagai pihak, sebagai konsekwensinya akan semakin banyak pula konflik kepentingan yang muncul. Sebagaimana takdir laut yang menjadi muara dari segala buangan di darat, maka wilayah pesisir dan laut ini secara simultan telah menjadi muara dari segala konflik manusia. Untuk itulah dibutuhkan variasi manajemen yang pada intinya adalah kordinasi dan integrasi atau keterpaduan konsep dan gerak yang sevisi dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Konflik multiguna yang terjadi di wilayah pesisir pada umumnya disebabkan oleh 3 (tiga) alasan ekonomis, yaitu : (1) Wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif di planet bumi, dimana berbagai ekosistem dengan produktifitas hayati tertinggi seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berda di wilayah pesisir; (2) Wilayah pesisir menyediakan berbagai aksesibilitas yang paling mudah dan relatif murah bagi kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan pembangunan lainnya dibandingkan dengan lahan atas (up-land area); dan (3) Wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama alam yang dapat dijadikan obyek rekreasi, pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir, terumbu karang, keindahan bawah laut, dan sebagainya.
Meskipun demikian, akibat berbagai kegiatan pembangunan yang kurang mengindahkan kelestarian fungi ekosistem, kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) sebagian ekosistem wilayah pesisir telah mengalami kerusakan dan terancam punah. Apabila kondisi semacam ini tidak segera dikelola secara arif dan efisien, maka pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan dikhawatirkan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Salah satu usaha dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah dengan sosialiasi bagaiman pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sosialisasi dimaksudkan agar segenap stakeholders mengetahui bagaimana pengelolaan secara terpadu dan apa yang bisa mereka sumbangkan dalam pengelolaan tersebut. Karena kegiatan MCRM sebagai pilot project hanya dilaksanakan di 3 kabupaten dan di provinsi. Maka sangat diperlukan pameran hasil kegiatan MCRM selama beberapa tahun ini sebagai pembelajaran bagi kabupaten lain dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Selain itu kegiatan pameran hasil MCRM menjadi acuan stakeholders dalam pengeloaan wilayah yang masuk dalam kabupaten MCMA. Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, berbagai pihak harus berupaya melakukan sosialiasi dan kordinasi secara terpadu
Bersambung ...
1 komentar:
ok juga tuh idenya
Posting Komentar