Selasa, 24 Juni 2008

Naskah Akademik Pengelolaan Terumbu Karang Sulawesi Selatan

Wilayah pesisir memiliki kekayaan antara lain berupa bentangan garis pantai yang secara nasional mencapai panjang sekitar 81.000 km dengan jumlah pulau besar dan kecil sebanyak 17.506 (sudah diberi nama baru 5.700 pulau, sedangkan sisanya 11.806 belum diberi nama dan juga belum dihuni oleh manusia). Sementara itu luas laut Indonesia dipekirakan mencapai 3,1 juta km2 yang mengandung sumberdaya hayati dan non hayati. Perairan yang luas dan garis pantai yang panjang tersebut tedapat hamparan ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang didalamnya terkandung sumber mineral, minyak bumi, gas alam dan lain-lain. Hamparan berbagai ekosistem tersebut merupakan habitat yang baik bagi kehidupan biota air, yaitu beragam jenis ikan, krustasea, molusca serta bebagai kehidupan laut lainnya. Wilayah pesisir dan laut juga menyediakan jasa-jasa lingkungan berupa panorama alam pesisir untuk pariwisata, pelabuhan, dan pemukiman perkotaan.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut dikuasai oleh negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), serta memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan. Namun, pada kenyataannya, penerapan Pasal tersebut belum mampu menempatkan masyarakat pesisir pada tingkat kesejahteraan yang membanggakan, tetapi justru menempati strata yang paling rendah dibandingkan dengan segmen masyarakat darat lainnya.
Selain itu, pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi belum dilakukan secara efektif, sehingga di beberapa kawasan eksosistem terumbu karang sudah mulai muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, exploitatif dan melampaui batas daya dukung lingkungannya. Dampak pemanfaatan tersebut mulai muncul, khususnya terlihat pada laju kerusakan fisik eksosistem terumbu karang dan lingkungan sekitarnya yang semakin meningkat. Dampak aktivitas lain adalah jika dilihat ekosistem terumbu karang sebagai satu kesatuan dengan ekosistem pesisir dan daerah aliran sungai (DAS), meningkatnya laju erosi tanah dari DAS hulu akibat intesifikasi pertanian lahan kering, membawa sedimen dan residu bahan kimia pertanian ke estuaria akhirnya akan mempercepat laju degradasi ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian UNEP (1995), 85% pencemaran laut berasal dari daratan. Demikian pula, pemanfaatan sumberdaya pesisir, seperti ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan pasir pantai, telah berlangsung secara intensif di wilayah pesisir tertentu. Eksploitasi yang berlebihan akan lebih menimbulkan kerusakan lingkungan.
Beberapa fenomena penting yang memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya antara lain: deforestasi hutan bakau; rusaknya terumbu karang; merosotnya kualitas obyek wisata laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran; berkembangnya erosi pantai; meluasnya sedimentasi, serta intrusi air laut.
Khusus untuk ekosistem terumbu karang, pengelolaan yang tidak efektif tersebut di dorong oleh berbagai faktor, antara lain; (1) Ketidakmampuan kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar pengelolaan sumberdaya terumbu karang; (2) Berbagai kepentingan sektor; (3) dunia usaha dan masyarakat setempat semakin kuat mendominasi isu-isu pemanfaatan, sedangkan aspek pengelolaan masih kurang mendapat perhatian. Dalam satu dekade belakangan ini, banyak pihak berkepentingan yang memanfaatkan sumberdaya terumbu karang dari jenis yang sama atau di wilayah eksositem terumbu karang yang sama, khususnya di wilayah ekosistem terumbu karang yang pembangunannya pesat. Masing-masing pihak yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda satu dengan lainnya, sehingga muncul gap atau tumpang tindih kewenangan. Untuk mencapai tujuannya, setiap instansi menyusun perencanaan sendiri, sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat, dan lingkungannya. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana memicu kompetisi (rivalitas) diantara pengguna sumberdaya dan tumpang tindih perencanaan. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi ini memicu konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Persoalan pengelolaan ekosistem terumbu karang semakin krusial menyusul diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan mandat otonomi kepada pemerintah daerah dalam pemanfatan dan pengelolaan sumberdaya pesisirnya, terutama pada ekosistem terumbu karang. Pasal 3 dan 10 UU tersebut menyatakan bahwa wilayah propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut, yang diukur dari garis pantai ke arah laut, dan Pemerintah kabupaten/kota memperoleh sepertiga dari kewenangan propinsi. Kewenangan pemerintah daerah ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam, dan tanggung jawab untuk melestarikannya.
Otonomi daerah di wilayah pesisir tersebut telah menimbulkan perbedaan penafsiran, dimana sebagian Pemda menerjemahkan seolah-olah kewenangan tersebut sebagai kedaulatan. Oleh karenanya timbul kesan adanya pengkapling-kaplingan laut berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan daerah. Pelaksanaan otonomi ini masih berbenturan dengan penerapan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha di wilayah pesisir. Sebagai gambaran, ada Pemda yang meminta saham baru dari perusahaan perikanan, seperti mutirara yang telah beroperasi dan mendapat izin dari Pemerintah sebelum UU No. 32/2004 dikeluarkan (Dahuri pers. comm. 2001).
Untuk mewujudkan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang terpadu tersebut, maka dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa perda (Peraturan Pemerintah). Namun selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di kawasan ekosistem terumbu karang hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait.
Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian hukum, maka perlu disusun suatu Naskah Akademik Pengelolaan ekosistem terumbu karang di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai bagian Ranperda Pengelolaan Wilayah Ekosistem Terumbu Karang.

Bersambung ...

Tidak ada komentar: