Wilayah pesisir Indonesia merupakan situs strategis dimana umat manusia memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dari lingkungan darat dan laut sekaligus. Salah satu potensi sumberdaya laut yang banyak memberikan manfaat baik bagi ekosistem maupun bagi masyarakat sekitarnya adalah ekosistem terumbu karang yang luasnya kurang lebih 58.000 km2 atau seperdelapan dari total luas terumbu karang dunia. (Moosa, et al., 1996, Walter, 1994 dalam Suharsono, 1998). Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang hidup lebih dari 400 jenis karang, lebih dari 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota laut lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 1998, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu dunia yaitu seluas 255.300 km2. dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke 2 di dunia setelah Australia. Jika ditinjau dari keanekaragaman hayati maka Indonesia berada pada peringkat pertama dengan 70 genera dan 450 spesies. (DKP, 2004). Selanjutnya hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78 % rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam kedaan baik dan hanya 6,20 % dalam keadaan sangat baik.
Khusus untuk ekosistem terumbu karang di Sulawesi Selatan, tersebar di semua kabupaten pesisir meskipun dengan luasan yang berbeda-beda. Lokasi yang paling mendominasi yaitu beberapa kabupaten yang memiliki wilayah kepulauan yaitu ; Kabupaten pangkep, Kota Makassar, Kabupaten Takalar, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Selayar.
Perencanaan dan pembangunan perikanan yang telah dilaksanakan selama beberapa rezim periode sampai saat ini masih menyisakan permasalahan-permasalahan besar. Pembangunan perikanan selama ini belum mampu secara optimal memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang berarti baik bagi perolehan devisa dan pendapatan negara maupun bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para nelayan kita.
Dalam pespektif yang lebih teknis, masalah pembangunan perikanan menghadapi kendala - kendala seperti kemampuan memproduksi yang rendah dibanding potensi yang tersedia, kemampuan pemasaran produk yang masih lemah serta kemampuan pembiayaan untuk faktor-faktor produksi yang masih kurang.
Potensi perikanan kita yang tersedia memang begitu besar dengan melihat bahwa 2/3 dari luas wilayah kita adalah laut seluas 5,8 Juta km2 yang terdiri dari laut terrritorial (0,8 juta km2), laut nusantara (2,3 juta km2), dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (2,7 juta km2). Dengan jumlah pulau 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar tetapi juga sebagai pemilik kekayaan sumber hayati laut baik dari sisi kuantitas maupun keanekaragamannya.
Dengan potensi lestari sebesar 5,01 juta ton serta asumsi harga ikan hasil tangkapan mencapai US.$. 3.052. maka nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari potensi perikanan Indonesia diperkirakan bernilai US.$. 15 Milyar. Sementara itu pada tahun 1999 menurut Rokhmin Dahuri (2001), nilai yang berhasil dicapai baru sekitar US.$.9,97.milyar. Masalah lain yang tidak kalah menariknya adalah kemiskinan dikalangan masyarakat nelayan dan pesisir pantai yang perlu segera ditanggulangi.
Menurut Selo Sumardjan (1980), kemiskinan struktural terjadi karena kondisi struktur sosial yang ada menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Semakin tinggi status sosial nelayan dalam struktur sosial dimasyarakatnya maka semakin besar peluangnya untuk mampu mengkases sumber daya yang ada baik berupa modal dari lembaga keuangan/Bank, teknologi, informasi, dan pasar. Menurut Dr. Eugene Staley seperti dinyatakan oleh M.L. Jhingan (2000) dinegara terbelakang selalu ditandai dengan adanya kemiskinan massal yang kronis, metode produksi dan organisasi sosial yang sudah usang, dan bukan karena negara itu miskin sumber daya alamnya. Lingkaran setan kemiskinan berasal dari fakta bahwa produktivitas total dinegara terbelakang sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna dan keterbelakangan perekonomian, yang siklusnya dapat dilihat dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Dalam hal ini pembentukan modal merupakan faktor yang penting dan strategis serta menjadi salah satu faktor kunci dalam proses pembangunan ekonomi.
Proses ini dapat berjalan melalui tiga tingkatan yaitu :
1). Kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk menabung.
2). Keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk menggalakkan dan menyalurkan tabungan kepada usaha-usaha produktif, yang berarti berfungsinya lembaga intermediasi keuangan secara baik.
3). Penggunaan tabungan untuk tujuan investasi dalam barang-barang modal pada perusahaan sehingga memberikan dampak multiplier kepada pembentukan keahlian, penyerapan tenaga kerja ,peningkatan produktivitas dan seterusnya.
Salah satu agenda terpenting dalam upaya pemulihan krisis perekonomian nasional yang telah mendera bangsa kita sejak pertengahan 1997 sampai saat ini, adalah dengan melakukan revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada serta menciptakan sumber-sumber ekonomi baru yang potensial namun belum termanage secara baik dan intensif.
Saat ini pandangan terhadap bisnis mikro mulai berubah seiring dengan perkembangan kondisi dimana bisnis mikro ternyata relatif bisa survive dalam menghadapi krisis ekonomi. Di negara berkembang, jasa perbankan umumnya hanya menjangkau dari kurang 20% penduduk, dan sisanya tidak pernah terjangkau sama sekali oleh pelayanan lembaga keuangan formal, meski pun sektor ini jumlah dan potensinya sangat besar. Program microfinance dapat menyediakan pembiayaan kurang dari USD 10 sampai dengan USD 10.000. Jika kita dapat melayani penduduk yang termasuk dalam kategori economically active poor, serta diasumsikan 50% dari pelayanan berhasil, maka nasabah mikro yang berhasil lama kelamaan akan meningkat menjadi nasabah ritel yang potensial dan menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dan keberhasilan nasabah ritel akan mampu mendorong sektor riil disuatu negara.
Dalam kaitan dengan permasalahan-permasalahan diatas, maka salah satu program Coremap II Kabupaten Pangkep ini mencoba melakukan pelatihan Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Desa sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan maupun kemampuan finacial accessibility masyarakat nelayan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang diharapkan juga bisa memberikan suatu pengalaman dan pembelajaran bagi segenap stakeholder untuk tidak perlu takut mengembangkan organisasi dan unit-unit kerjanya pada segmen pasar pembiayaan mikro. Hal ini dengan mengingat masih banyaknya daerah dan desa potensial yang belum terlayani oleh jasa perbankan, khususnya pada daerah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang potensial.
Jumat, 12 September 2008
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pangkep
Label:
ICZPM,
kemiskinan,
konflik,
masyarakat,
pengelolaan,
pesisir,
pulau pulau kecil,
Terumbu Karang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar