Sumberdaya alam laut Indonesia merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services).
Menyandarkan harapan pembangunan pada sumberdaya pesisir dan lautan bukan tidak beralasan. Ketika negara ini dilanda krisis ekonomi yang sangat dahsyat, sebagian wilayah masih bertahan kokoh, bahkan dapat memanfaatkan kondisi ini dengan cara peningkatan volume ekspor dari sumberdaya kelautan. Krisis ekonomi beserta segenap dampaknya, baik terhadap sistem sosial, politik dan keamanan maupun sistem pengelolaan lingkungan alam (ekosistem), sepantasnyalah menyadarkan bangsa Indonesia untuk senantiasa memperkokoh fundamental sistem perekonomian dan memperbaiki rezim pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan agar terwujud pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di perairan Kabupaten Pangkep memiliki arti yang signifikan karena dapat memberdayakan peran dan kemampuan daerah yang pada gilirannya mewujudkan pemerataan kemakmuran yang berkeadilan yang selama ini merupakan salah satu isu pemicu munculnya disintegrasi nasional.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki karakteristik spesifik yang sarat dengan nuansa ekologis dan teknologi. Aspek ekologis merupakan salah satu dimensi utama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disebabkan karena pola pengelolaan tersebut sangat mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat dapat pulih (renewable resources). Dimensi teknologi tidak dapat dinafikan karena pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan lautan beribasis pada pemanfaatan teknologi yang pada umumnya relatif tinggi. Hal ini menyebabkan akses masyarakat, khususnya kelompok nelayan miskin dan komunitas marginal lokal, terhadap pemanfaatan sumberdaya ini menjadi sangat teribuatas.
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang bisa hidup lebih dari 400 jenis karang, lebih dari 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota laut lainnya(Moosa, et al., 1996, Walter, 1994 dalam Suharsono, 1998).
Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi sebagai gudang keanekaragaman biota, tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan atau memijah dan daerah asuhan, serta tempat berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Disamping itu, terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung atau tidak langsung dan sumber obat-obatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan sumber utama bahan konstruksi. Terumbu karang mempunyai nilai yang penting sebagai pendukung dan penyedia bagi perikanan pantai termasuk di dalamnya sebagai penyedia lahan dan tempat budidaya berbagai hasil laut. Pemandangan yang sangat indah untuk rekreasi pantai dan bawah laut serta sebagai tempat penelitian dan kepentingan pendidikan (Suharsono, 1996).
Pemanfaatan oleh manusia telah membawa dampak yang bisa terjadi sewaktu-waktu dalam skala kecil yang dapat kemudian berkembang menjadi skala besar. Kerawanan akan dampak negatif tersebut terutama terhadap biota-biota yang sensitif terhadap tekanan tekanan-tekanan lingkungan dikhawatirkan dapat menurunkan populasi.
Perkembangan penduduk yang terus meningkat termasuk di kawasan pesisir dan laut memerlukan penanganan yang serius dari semua pihak terutama pemerintah. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi diperkirakan juga berimplikasi pada kebutuhan sumberdaya alam (perairan) dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) akan semakin meningkat, sementara stock (ketersediaan) sumberdaya semakin berkurang. Hal ini akan berkorelasi dengan peningkatan kemiskinan di sebagian besar masyarakat pesisir khususnya nelayan terutama daerah hinterland.
Kemiskinan masyarakat nelayan diduga sangat berkaitan erat dengan menurunnya hasil tangkapannya. Menurunnya hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Pangkep dan sekitarnya diduga disebabkan berbagai faktor, antara lain: (1) Terjadinya degradasi fisik ekosistem pesisir utama (terumbu karang dan mangrove), (2) Sedimentasi dan erosi pantai yang cukup signifikan serta pencemaran perairan telah mencapai suatu tingkat yang dapat mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem untuk menopang kesinambungan sumberdaya perikanan; (3) Menyempitnya fishing ground karena berubah fungsi; (4) Terlampauinya potensi perairan akibat banyaknya unit usaha penangkapan yang beroperasi, bukan saja unit penangkapan yang berasal dari Kabupaten Pangkep sendiri, tetapi juga dari daerah lain dan mungkin juga dari luar Sulawesi Selatan (Nelayan Jawa, Bali dan Kalimantan). Hal ini ada kaitannya karena laut dan pantai merupakan kawasan terbuka untuk semua orang (open akses), membawa konsekwensi sumberdaya perikanan disuatu kawasan dapat diakses oleh siapapun juga dan teknologi yang beragam; dan (5) Kegiatan pengeboman ikan masih marak di perairan Kabupaten Pangkep, khususnya di kecamatan pesisir dan sekitarnya, sehingga mengakibatkan bertambahnya kerusakan terumbu karang. Berkurangnya hasil tangkapan nelayan tersebut akan berdampak pula pada berkurangnya penghasilan atau pendapatan yang dapat dibawa pulang oleh nelayan untuk membiayai kebutuhan keluarganya, yang sekaligus diperkirakan akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarganya. Lebih lanjut akibat dari berkurangnya penghasilan ini timbul masalah sosial yang dapat mengganggu kestabilan keamanan, kestabilan ekonomis dan mungkin juga kestabilan politik di kawasan pesisir tersebut.
Masyarakat nelayan sebenarnya mempunyai banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan selain usaha penangkapan ikan. Aktivitas penangkapan ikan yang mereka lakukan sangat tergantung pada musim angin. Aktivitas/intensitas penangkapan ikan yang tinggi terjadi pada musim ikan (Peak Season) dimana keadaan laut relatif tenang biasanya terjadi pada Bulan April. Aktivitas sedang biasanya pada Bulan Mei sampai dengan Bulan Juli; aktivitas berkurang terjadi pada musim kurang ikan (Off Season), biasanya terjadi pada Bulan Agustus sampai dengan Oktober. Dan aktivitas penangkapan ikan hampir terhenti sama sekali pada musim paceklik atau musim Utara, yang biasanya terjadi pada Bulan November sampai dengan Januari. Secara perhitungan sederhana, diperkirakan rata-rata waktu produktif nelayan dalam usaha penangkapan ikan adalah dalam satu tahun, hanyalah sekitar 9 bulan dan dalam satu bulan hanya sekitar 20 hari.
Dengan kondisi yang demikian maka perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan usaha alternatif selain usaha penangkapan ikan dalam rangka menstabilkan dan meningkatkan pendapatan nelayan dari satu sisi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan dari sisi lainnya. Usaha alternatif tersebut dapat dimulai dengan memanfaatkan waktu luang nelayan dan keluarganya sampai menjadikan usaha alternatif tersebut sebagai mata pencaharian pokok sebahagian dari pada keluarga nelayan.
Untuk mengembangkan usaha alternatif tersebut memerlukan suatu strategi pengembangan. Hal ini mengingat dari satu sisi sangat tidak mudah untuk memulai sesuatu usaha yang baru bagi masyarakat nelayan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumberdaya perikanan, sedang disisi lain suatu usaha yang baru bisanya juga rentan untuk bertahan. Jenis-jenis usaha alternatif yang akan dikembangkan disamping memilih usaha yang telah dikenal oleh masyarakat, juga perlu mempertimbangkan variabel teknis yang biasanya menjadi kendala atau contsrain bagi pengembangannya. Variabel teknis yang utama yang dimaksud, antara lain: minat masyarakat, ketersediaan bahan baku/sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja dan peluang pasar (analisis teknis). Disamping itu sebelum usaha-usaha tersebut dikembangkan, perlu dilakukan analisis kelayakan usaha dari masing-masing jenis usaha tersebut. Melalui studi kelayakan ini dapat ditentukan apakah jenis-jenis usaha tersebut secara finansial benar-benar layak dikembangkan atau tidak. Dengan kata lain studi kelayakan ini disamping akan memberikan informasi apakah suatu usaha akan memberikan keuntungan atau kerugian secara private, juga akan menggambarkan kebutuhan modal usaha, tingkat efisiensi penggunaan modal, perbandingan antara penerimaan dan biaya, serta lama pengembalian modal. Selanjutnya perlu pula menentukan strategi pengembangannya berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar