Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Namun demikian, dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, masih ditemukan beberapa permasalahan, seperti kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir termasuk kerusakan terumbu karang, pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan, over eksploitasi sumberdaya hayati, keterbatasan dana, rendahnya kualitas SDM, kurangnya koordinasi dan kerjasama antar stakeholder, lemahnya penegakan hukum dan kemiskinan masyarakat pesisir
Salah satu kekayaan sumberdaya hayati laut yang potensial adalah terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1998[1], luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5% dari luasan terumbu karang dunia yaitu seluas 255.300 km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 km2. Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies.
Namun demikian, menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia sebagian besar (41,78 %) telah dinyatakan dalam keadaan rusak, 28,30% dalam keadaan sedang, 23,72% dalam keadaan baik, dan hanya 6,20% dalam keadaan sangat baik. Keadaan ini sangat memperihatinkan, sebab terumbu karang dengan segala kehidupan di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi, karena manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung, seperti antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, maupun manfaat tidak langsung, seperti antara lain sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang.
Pada umumnya, kerusakan terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia dan akibat alam. Kegiatan manusia yang dominan menjadi penyebab kerusakan terumbu karang adalah penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun (kalium sianida) dan alat tangkap tertentu yang pengoperasiannya dapat merusak terumbu karang, penambangan dan pengambilan karang untuk kebutuhan bahan bangunan, kegiatan pariwisata yang tidak bertanggung jawab, pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian dan rumah tangga, eksploitasi berlebihan sumberdaya perikanan tangkap/penangkapan berlebih, dan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir seperti reklamasi pantai. Sedangkan kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain karena pengaruh pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami, serta fenomena alam lainnya.
Kedua penyebab utama tersebut di atas kelihatannya sulit untuk dihindarkan, sehingga kerusakan terumbu karang dipastikan akan terus berlangsung. Oleh karena itu, terumbu karang perlu diselamatkan, sehingga dibutuhkan upaya-upaya penyelamatan secara terpadu, guna menekan laju kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua penyebab tersebut, khususnya yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Dalam rangka melakukan penyelamatan terumbu karang, Pemerintah telah membuat Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004. Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.
Pengelolaan terumbu karang menurut Keputusan Menteri tersebut adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur terumbu karang melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan atau pengawasan, evaluasi dan penegakan hukum.
Untuk itu, maka tujuan pedoman umum ini adalah:
1. mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan;
2. mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang;
3. mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak;
4. melaksanakan peraturan formal dan peraturan informal;
5. menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan.
Sedangkan sasaran dari pedoman umum tersebut adalah:
1. meningkatkan kesadaran dan peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan terumbu karang secara terpadu;
2. terlaksananya pendelegasian wewenang kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan terumbu karang;
3. terciptanya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang;
4. berkurangnya laju degradasi terumbu karang;
5. terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang;
6. terlaksananya pola pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya terumbu karang.Guna mencapai tujuan dan sasaran dari Pedoman Umum tersebut, tentunya dibutuhkan suatu sistem hukum dan kelembagaan yang responsif[2], agar dapat menjabarkan proses pencapaian tujuan dan sasaran tersebut, sehingga dapat menciptakan dan mendukung pengelolaan terumbu karang, sebagai realisasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
[2] Hukum yang responsif menurut Philippe Nonet & Selznick (2004) yaitu hukum yang mampu menciptakan tatanan hukum yang baik, terbuka dan purposif (berorietasi tujuan).
Selasa, 24 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar