Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia, tetapi karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adalah bahwa didalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan zooxanthella, sedangkan karang ahermatipik tidak.
Terumbu karang adalah suatu ekosistem didasar laut tropis yang terutama dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup didasar lainnya seperti Mollusca, Crustacea, Echinodermata, Polycaeta, Porifera, Tunicata dan biota lainnya yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan ikan. Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis (Sukarno, 2001).
Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan keanekaragaman hayati tinggi ditemukan di perairan dangkal daerah tropis (English et.al., 1997). Walaupun memiliki kompleksitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun ekosistem ini tidak stabil, karena sensitif terhadap gangguan yang timbul, baik secara alami maupun akibat aktifitas manusia.
Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain. Rangka karang itu sendiri memberikan tempat perlindungan berbagai macam spesies hewan, termasuk jenis penggali lubang dari golongan moluska, cacing polychaeta, dan kepiting. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias, selain itu dapat melindungi pantai dari hempasan ombak sehingga bisa mengurangi proses abrasi (Hutabarat dan Evans, 1986).
Karena letaknya di dasar laut, walaupun hanya pada wilayah laut dangkal, perhatian masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya terhadap pentingnya nilai dan permasalahan terumbu karang di Indonesia dinilai cukup lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala termasuk masalah teknologi dan kemampuan penyelaman, serta kebijakan pemerintah, sehingga informasi masalah kondisi terumbu karang baru mendapat perhatian yang lebih serius pada tahun 90'an. Keterlambatan ini menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia dinilai sudah sangat parah, dimana lebih dari 70 % ekosistem terumbu karang kita telah mengalami kerusakan (Hopley dan Suharsono, 2000; Edinger dkk., 1998; Jompa, 1996). Penyebab kerusakan ini disamping disebabkan oleh fenomena alam seperti bleaching atau pemutihan, juga disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia, baik secara langsung oleh nelayan maupun secara tidak langsung oleh masyarakat di daratan melalui penggunaan lahan di daerah hulu yang tidak tepat, serta pembuangan limbah, dll. (Dahuri dkk. 1996).
Sampai saat ini, usaha rehabilitasi kawasan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan di Indonesia masih sangat kurang, salah satu upaya yang biasa dilakukan untuk maksud tersebut adalah dengan melakukan transplantasi karang dewasa (misalnya Fox dkk., 2000). Namun demikian, untuk memperbaiki lahan yang cukup luas maka akan dibutuhkan sumber karang dewasa yang cukup banyak. Hal ini dinilai bisa merusak habitat tempat dimana dilakukan pengambilan karang dewasa tersebut, lagi pula sering kali tingkat kelangsungan hidupnya untuk jangka panjang belum memuaskan.
Karang membutuhkan kejernihan air yang tinggi dan jumlah unsur hara atau nutrient yang rendah. Karana zooxanthella (alga simbiosa) membutuhkan cahaya untuk fotosintesis, maka cahaya adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikal karang pembentuk terumbu (karang hermatypic). Olehkarena itu, kebanyakan pertumbuhan karang yang paling aktif terdapat pada kedalaman 2-10 meter.Hubungan simbiosa antara zooxanthellae dan karang merupakan faktor penting dalam pembentukan terumbu karang. Alga bersel satu ini mendapatkan perlindungan yang baik dalam jaringan karang dan memperoleh suply nutrient atau unsur hara dari hasil sekresi karang dan karbon dioksida dari hasil respirasi hewan karang. Kedua unsur tersebut akan dimanfaatkan oleh zooxanthella untuk pertumbuhan dan perkembangannya melalui proses fotosinthesis. Hasil dari fotosintesis tersebut yang merupakan senyawa karbon selanjutnya dimanfaatkan oleh karang sebagai sumber energi.
Untuk pertumbuhan terumbu karang yang baik, dibutuhkan kondisi lingkungan yang cocok misalnya; konsentrasi oksigen yang cukup, temperatur yang hangat, salinitas antara 32-36 ppt, PH air yang sedang (7,5 – 8,5), kecerahan yang baik (cahaya tembus > 20m), konsentrasi nutrient rendah, biomassa fitoplankton rendah, sedimentasi rendah, suply air tawar kecil, bebas pencemaran, dll. Secara alamiah, fungsi ekosistem terumbu karang sangat kompleks, dimana juga berkaitan dengan ekosistem mangrove dan padang lamun yang berdekatan. Secara fisik terumbu karang juga berfungsi sebagai pemecah ombak untuk melindungi daerah pesisir. Secara kimiawi, terumbu karang merupakan penangkap karbon yang diikat dalam bentuk kalsium karbonat. Nilai yang selama ini dikenal sangat pital adalah dalam hal mendukung sumberdaya perikanan. Lebih dari 30 % ikan-ikan yang merupakan pemasok protein ditangkap di daerah terumbu karang. Masih banyak fungsi lain yang nilainya tidak kalah penting misalnya sebagai sumber 'natural product', dan juga sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pariwisata (Jompa dkk, 2003).
Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar